Festival Film Indonesia kembali digelar. Tahun 2010 ini rencananya Festival yang
katanya merupakan festival perfiliman tertinggi di Indonesia akan digelar pada akhir tahun, yaitu bulan desember 2010. Banyak film-film yang mendaftar untuk diseleksi difestival ini, tepatnya ada 54 film. Dari 54 itu terpilihlah 8 film yang lulus seleksi yang kemudian akan dipilih lagi untuk menjadi nominasi pada hari puncaknya. Kedelapan film itu sebagai berikut:
2. Alangkah Lucunya Negeri Ini
3. Minggu Pagi di Victoria Park
5. 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita
6. Cinta 2 Hati
7. I Know What You Did on Facebook
Dari kedelapan film ini, terus terang 1 filmpun belum ada yang saya tonton. Pernah tertarik untuk menonton Minggu Pagi di Victoria Park, tapi sampe sekarang juga belum sempat untuk menontonnya
Tapi, melihat 8 film yang masuk membuat saya malas untuk mengikuti jalannya acara FFI ini, karena apa kepentingan saya untuk mengetahui hasilnya kalau film-filmnyapun bukan pilihan saya buat menontonnya. Saya sempat berfikir kalau mungkin saya yang punya selera yang salah dalam menonton film-film Indonesia. Kalau diingat-ingat film-film Indonesia yang saya tonton itu antara lain: Darah Garuda, Laskar pemimpi, Sang Pemimpi, Sang pencerah, Pintu Terlarang, dll. Dari jumlah penontonnya, film-film yang saya tonton tentu sangat banyak peminatnya, tapi kenapa satupun tidak ada yang masuk kedalam daftar diatas?
Memang sejak beberapa tahun yang lalu, ada sineas perfilman yang tidak mau lagi mengikuti filmnya ke festival ini, mereka telah kecewa terdapat FFI karena dianggap tidak baik dalam segi penilaian. Diantara mereka adalah sutradara Joko Anwar dan Mira Lesmana yang malahan pernah mengembalikan piala citra yang mereka dapatkan.
Namun, dilain pihak ada beberapa yang masih ingin mendaftarkan filmnya seperti Hanung Bramantyo dengan film anyarnya Sang Pencerah malah tidak bisa masuk karena katanya tidak memenuhi syarat sebagai film biografi (hmm, saya sendiri juga tidak pernah mendengar Hanung mengatakan Sang Pencerah adalah film biografi seh). Film Sang pencerah sendiri sangat bagus menurut saya, dan telah saya tulis reviewnya di sini.
Kalau sudah sebagian sineas film yang film-nya sukses dan bagus tidak mau mendaftarkan filmnya ke FFi dan film bagus lainnya yang tidak lolos kualifikasi karena alasan kurang masuk akal, apakah FFI masih bisa disebut sebagai pilar untuk mengukur perfilman di Indonesia?
Jawaban dari saya pribadi tentunya tidak. Suatu festival dikatakan tertinggi atau menjadi tolak ukur jika festival tersebut diakui dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat perindustrian yang bersangkutan, dan kali ini adalah perindustrian film-nya. Jika mereka malah diolok-olok dan tidak diindahkan untuk apa lagi piala citra!
Ajang penghargaan seperti ini di Indonesia memang telah surut dari tahun ke tahun. Seperti Panasonic Award yang saya anggap tidak lagi murni karena yang menang bahkan yang masuk nominasi praktis hanya yang berkecimpung dalam MNC group.
Setiap karya memang perlu suatu ajang untuk menilai karya tersebut, karena kita memang tidak bisa melihatnya hanya dari sisi kuantitas, tapi juga dari sisi kualitasnya. Namun, jika ajang telah ada corengan yang membuat ajang tersebut tidak mendapat respon positif lagi, tentunya ada baiknya agar ajang itu berbenah atau diubah sama sekali menjadi format yang baru.