#1: Yang Terbuang

Oleh : Niee

Pagi yang cerah, seperti biasa. Aku memulai aktifitasku tepat pukul 8. Pagi ini aku mengenakan baju baruku – lagi. Sebuah longdress korea bercorak bunga berwarna baby blue. Leherku terlilit shal jaring berwarna putih yang dikaitkan dengan sebuah bross perak berbentuk daun di pundak kananku. Tak lupa aku membawa tas Channel keluaran terbaru yang belum dimiliki anak-anak muda sekarang. Aku yakin, tas yang aku gunakan ini tak sampai sebulan akan menjadi trend baru di kota Pontianak.

Penampilanku yang ‘super’ memang rada aneh dengan cuaca Pontianak yang akhir-akhir ini terasa sangat panas. Yang aku dengar sudah beberapa hari kota yang dilewati garis Khatulistiwa ini tidak diguyur hujan lebat. Hanya sesekali hujan kecil membasahi jalanan kota ini, itupun hanya hujan lokal. Tapi aku tak perduli dengan penampilanku yang sekarang, atau kemaren, atau penampilanku yang akan datang. Tidak pernah sekalipun orang mengejekku dengan model yang aku pilih. Bahkan sebagian besar dari mereka – terutama para remaja putri – mengagumiku. Aku tahu, aku adalah pusat perhatian bagi sebagian cewek kota Pontianak, mungkin sedikit membuat mereka iri, itu diluar tanggung jawabku.

Setelah yakin dengan penampilanku, akupun duduk, menunggu seseorang yang datang untuk menghampiriku. Sebuah pekerjaan yang melelahkan sebetulnya, tapi juga sangat menyenangkan dan tentu saja mendebarkan dengan pertanyaan yang selalu sama di dalam benakku: Apakah hari ini?

***

Hari sudah menjelang siang. Aku masih tetap berada di tempat dudukku sejak tadi pagi. Beberapa orang memandangiku, beberapa lagi menghampiriku, tapi tak ada yang terlihat serius – sampai ketika dia datang.

Dia seorang laki-laki, bertubuh sedikit gemuk. Tingginya kira-kira 170cm. Rambutnya hitam pekat berbentuk jabrik dengan sisiran acak-acakan yang membuatnya terlihat keren. Garis wajahnya keras, menggambarkan bahwa ia adalah seorang yang serius.

Tidak seperti orang lain yang biasanya mendekatiku, dia melihat dari kejauhan. Tapi aku tahu dari pandangannya dia sangat serius memandangiku. Seperti ada ketertarikan yang kuat. Aku sangat tahu itu, karena aku sudah hapal dengan pandangan seperti itu. Bekerja seperti ini selama hampir 5 tahun membuat aku paham benar watak orang dari sorotan matanya. Mana yang hanya main-main, dan mana yang serius.

Matanya memandangiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku tidak keberatan dengan itu, aku sudah biasa, toh laki-laki ini sangat menarik.

Beberapa menit kemudian pandanganku kearahnya terhalang oleh dua orang yang menghampiriku. Aku berusaha terus melihatnya, tapi kedua orang ini terus saja ada di depanku tanpa merasa bersalah. Tak lama kemudian laki-laki itu beranjak dari tempat berdirinya dan meninggalkan aku dengan kedua orang yang mengesalkan ini. Sial.

Sekarang aku tinggal berhadapan dengan dua orang yang telah menghancurkan impianku untuk dihampiri lelaki tadi. Aku sudah kesal sendiri dengan mereka sehingga tidak memperdulikan lagi apa yang mereka lakukan terhadapku.

Salah seorang dari mereka memegang pundakku. Sesekali ia mengelus lembut rambutku. Yang lain mengelus leherku dan mengintip kebalik rambutku. Aku sangat benci diperlakukan seperti ini sebenarnya. Tapi toh aku tidak bisa protes.

“Lucu gak?” Tanya salah satu dari mereka.

“Lumayan,” ucap yang lain sambil melepaskan tangannya dari leherku.

“Aku suka, aku ambil ya?”

Tanpa mendengarkan jawaban, orang pertama tadi langsung menghampiri pemilikku. Perbincangan yang alot seperti biasa, aku tidak mau mendengarkan, aku bosan.

***

Pagi yang dingin. Aku dengar tadi malam kota Pontianak diguyur hujan yang cukup deras, syukurlah. Tapi cuaca yang dingin biasanya menyebabkan sepinya pengunjung di tempatku bekerja. Aku tidak perduli, yang aku perdulikan hanyalah bahwa dia – laki-laki kemaren – datang lagi untuk melihatku, kalau perlu memilihku.

Tapi, sudah berjam-jam aku duduk di tempatku biasa. Sudah beratus-ratus orang yang mendekatiku, dia tidak pernah menunjukkan wajahnya hari ini. Apa dia sedang sibuk? Atau dia tidak tertarik lagi padaku?

***

Sudah beberapa hari aku tidak lagi melihat laki-laki itu. Padahal aku tidak pernah beranjak dari tempat dudukku di sini. Siang ini aku sangat berharap bisa melihatnya lagi. Hari ini aku sudah mengenakan pakaian baruku lagi, mini dress ungu polos berbahan satin lembut dengan aksen bunga putih dibagian dada. Aku akan terlihat cantik, seperti biasa.

Saat itu hari menjelang sore. Orang-orang telah memenuhi tempat kerjaku. Aku aku sangat bosan, bosan melihat mereka yang lalu lalang tanpa merasa lelah, hingga aku melihat seseorang.

Ya, aku yakin dia orang yang sama. Walaupun dia tampak sangat berbeda dengan setelan jas yang dikenakannya, tapi ini makin meyakinkanku bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Dengan usia yang masih lumayan muda, dia mungkin adalah seorang manager, atau kepala bagian, atau apalah, sebenarnya aku tidak terlalu perduli yang aku mau adalah dia menghampiriku – memilihku.

Benar saja, dia mulai berjalan mendekatiku, semakin dekat dan semakin dekat. Kalau saja ada jantung yang bisa meloncat dari dalam tubuhku pasti itu akan terjadi sekarang. Aku bisa melihatnya dengan jelas, tidak seperti hari pertama dulu ketika aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Ternyata dari dekat dia terlihat lebih tinggi dari yang aku bayangkan.

Ingin rasanya aku merapikan rambut dan bajuku yang terlihat sedikit kusut kalau saja aku bisa. Dia memang tipe laki-laki yang aku telah lama tunggu selama ini. Aku harap Tuhan memang menakdirkannya untuk memilihku.

Makin lama wajahnya semakin dekat denganku, tapi ada guratan kekecewaan dari matanya. Apa yang salah dengan aku? fikirku sambil memperhatikan dandanan dan pakaianku hari ini. Sama sekali tidak ada yang salah. Kenapa dia terlihat kecewa?

“Tidak seperti yang aku lihat kemaren,” ia berujar sendiri sambil terlihat melirik kearah pemilikku tampak ingin bertanya. Tapi kemudian ia mengurungkan niatnya dan langsung pergi menjauhiku.

Apa yang salah denganku hari ini? ucapku kesal tanpa ada seorangpun yang mau mendengarkannya. Aku sudah bosan dengan pekerjaan ini.

***

Hari-hari setelahnya adalah hari-hari yang paling panjang dalam eksitensiku di dunia ini. Pakaian baru dan bagus tidak menjadikan moodku membaik. Orang-orang yang lalu lalang dihadapanku hanya memperburuk situasi perasaanku.

Beratus-ratus jam berlalu tanpa ada perbaikan mood. Aku tahu, hanya ada satu hal yang bisa memperbaiki moodku untuk kembali semangat bekerja. Ya, apalagi kalau bukan laki-laki itu. Laki-laki yang telah memasuki rongga tubuhku dengan wajahnya.

***

Perasaanku hari ini sangat tidak enak, entah karena cuaca kota Pontianak yang tiba-tiba saja menjadi sering hujan atau hanya pikiranku saja, entahlah.

Pagi ini tepat pukul 8 pagi, seperti biasa aku sudah siap dengan setelan bajuku. Bukan baju baru seperti biasa. Baju ini sudah aku kenakan beberapa hari yang lalu, saat aku pertama kali melihat lelaki itu. Apa kabar dia sekarang? Apa yang diperbuatnya sekarang? Andai aku bisa tahu dan andai dia bisa tahu bahwa aku sangat merindukannya.

Pukul 8 pagi, seperti biasa aku duduk di tempat kerjaku. Melayani pelanggan, menyenangi pemilikku yang semakin hari semakin sumringah saja wajahnya. Sepertinya bisnis yang dijalaninya sangat sukses.

Empat jam telah berlalu ketika aku melihatnya lagi. Aku yakin aku tidak sedang menghayal – seperti hari-hari yang sering aku lakukan – karena dia sangat nyata. Siang ini dia mengenakan jenis pakaian seperti aku melihatnya pertama kali: jeans, kaos dan sepatu kets. Aku lebih menyukai gayanya yang seperti ini ketimbang setelan jas yang membuat dia terlihat sedikit tua.

Dia mendekatiku, kali ini dengan semangat. Tak sampai satu menit dia telah berada tepat di depanku – tanpa penghalang. Kalau Tuhan menciptakanku dengan sayap, pasti aku sudah terbang sekarang.

Sekarang dia tersenyum hingga deretan gigi-gigi putihnya terpampang jelas di mataku yang berjarak hanya beberapa centimeter darinya. Tangannya mengelus lembut pinggan dan punggungku. “Ini yang aku cari, sebentar lagi kau akan menjadi milikku sayang,” ucapnya sangat lembut yang membuat tubuhku meregang.

Tak pakai berfikir lama, dia langsung menghampiri pemilikku. Mengobrol dan menawar seperti pelanggan biasanya. Sepertinya dia sangat mahir melakukan hal ini, mungkin sudah terbiasa, atau mungkin pemilikku yang kecentilan digoda oleh lelaki seperti dia. “Hey dia milikku!” ucapku yang tidak didengar oleh mereka berdua.

Setelah beberapa menit melakukan penawaran, pemilik menghampiriku dengan senyuman khasnya yang memuakkan. “Ini hari terakhirmu di sini kau tahu? Kita butuh penyegaran dengan yang baru,” ucapnya manis yang makin membuatku panas.

Ok, tidak masalah kau berkata seperti itu. Toh, hari ini aku akan bersama dengannya, dengan laki-laki yang telah lama aku idam-idamkan tanpa kau mengetahuinya. Setelah ini aku pasti akan bahagia melebihi kebahagianmu.

Dengan sigap pemilikku melepas pakaian yang kukenakan hingga seluruh tubuhku telanjang tanpa memakai pakaian apapun. Dia – lelaki itu – memandangi proses penelanjanganku dengan senyum yang tak henti-henti dari bibir manisnya. Sebentar lagi, sebentar lagi aku akan menjadi milikmu sayang.

Pemilikku melipat baju yang aku kenakan, memasukkannya dengan rapi ke dalam kantong plastik, menghitung dengan komputernya seperti biasa dan menghampiri laki-laki itu sambil memberikan kantong plastiknya.

“Mudah-mudahan pacarmu menyukainya,” ucap pemilikku.

Aaaahhh!!! Tidak!! Jangan kali ini juga. Jangan bilang dia hanya menginginkan pakaianku seperti laki-laki yang aku temui selama ini.

“Mudah-mudahan. Pakaian di tokomu bagus-bagus,” ucap laki-laki itu dengan senyuman.

“Bawalah dia ke sini nanti.”

“Oh pasti, dia juga pasti akan bertanya di mana aku membelinya. Lalu, kenapa kau tidak memasang pakaian baru kepadanya?” ucapnya sambil menunjuk ke arahku.

“Dia? Kami akan menggantikannya dengan Manekin yang baru. Sudah lima tahun toko kami tidak mengganti manakin.”

“Ya, dia memang sudah terlihat tua dan kumal. Kau harus menggantinya segera.”

“Toni, angkat manakin itu dan masukkan ke dalam gudang. Taruh manekin yang baru kita beli kemaren di sini.”

“Siap bos,” ucap pegawai pemilikku.

Tidak! Jangan lakukan ini kepadaku. Kenapa harus aku? Bukankah aku sudah melayani pelangganmu tanpa pernah mengecewakannya? Lalu kenapa kalian malah ingin membuangku?

Walau aku berteriak sekencang apapun tak aka nada yang mendengarkan suaraku. Tak akan ada yang mengurungkan niatnya untuk membuangku. Toni terus saja membawaku kebagian belakang toko yang gelap. Sedikit demi sedikit bayangan laki-laki yang bahkan namanya saja belum aku ketahui hilang dari pandanganku, digantikan dengan pemandangan perabotan lama toko yang telah berdebu tebal.

Toni mendudukkanku di atas sebuah kotak kosong di sudut ruangan dan langsung berjalan keluar menuju pintu. Aku tak menyangka nasibku akan berakhir di sini. Didekat tumpukan sampah dan barang rongsokan. Secara perlahan sinar lampu dari luar mengecil seiring pintu yang ditutup hingga ruangan ini tak nampak apapun lagi. Hanya gelap dan gelap dan gelap selama bertahun-tahun.

4 Comments

Balas Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s